Senin, 19 Mei 2025
355 Views
Kalau ngomongin soal fashion anak muda di Indonesia, khususnya yang ngangkat identitas lokal, Bandung jelas punya peran besar banget. Salah satu bukti nyatanya? Distro. Kata yang udah nggak asing lagi di telinga generasi 90-an sampai Gen Z sekarang.
Tapi sebenernya, dari mana sih asal-usul budaya distro di Bandung?
Distro adalah singkatan dari distribution outlet — sebuah tempat yang menjual produk fashion independen, biasanya dari brand lokal yang nggak diproduksi massal. Konsep ini mulai muncul di Bandung sekitar akhir 90-an, dibentuk dari semangat anak muda yang pengin tampil beda dan nggak ikut arus fashion mainstream.
Awalnya, distro itu cuma tempat kecil di garasi rumah atau ruko sederhana yang menjual kaos band, merchandise komunitas, sampai artwear dengan desain unik. Brand-brand kecil yang dijual di distro biasanya dibuat sendiri oleh anak-anak muda kreatif yang punya passion di dunia seni, musik, dan street culture.
Tahun 2000-an jadi titik ledak bagi budaya distro. Bandung mulai dikenal sebagai kota kreatif, dan distro tumbuh subur di mana-mana — terutama di kawasan seperti Jalan Trunojoyo, Jalan Sultan Agung, dan Jalan Cihampelas. Saat itu, punya baju dari distro dianggap keren karena anti-mainstream dan mendukung brand lokal.
Yang bikin menarik, distro bukan cuma soal jualan baju. Di baliknya, ada komunitas, kultur musik indie, dan gaya hidup anak muda urban yang saling mendukung. Banyak musisi, skateboarder, visual artist, dan desainer lahir dari lingkungan ini. Bisa dibilang, distro adalah cerminan gaya hidup bebas dan kreatif khas Bandung.
Salah satu nama besar yang lahir dari rahim budaya distro ini adalah 3Second. Brand ini berdiri sejak awal 2000-an, dan langsung mencuri perhatian lewat desain yang kekinian, kualitas produk yang oke, dan identitas merek yang kuat.
Berbeda dari banyak brand lain yang redup seiring waktu, 3Second justru berkembang jadi raksasa retail lokal. Mereka berhasil membangun ekosistem fashion yang luas: dari clothing line pria, wanita, anak-anak, sampai aksesoris dan produk lifestyle lainnya. 3Second juga punya saudara brand seperti Greenlight, Famo, FMC dan Moutley yang kini menghiasi banyak distro dan toko retail modern.
Salah satu kekuatan 3Second yang bikin mereka tetap relevan adalah kemampuan berkolaborasi. Brand ini cukup aktif menjalin kerja sama dengan berbagai pihak—baik itu public figure, musisi, komunitas kreatif, hingga brand lokal lain. Kolaborasi ini bukan cuma soal jualan, tapi juga bentuk dukungan terhadap ekosistem industri kreatif.
Contohnya, 3Second pernah berkolaborasi dengan band lokal, YouTuber, dan influencer untuk merilis koleksi eksklusif yang langsung habis dalam waktu singkat. Mereka juga menggandeng ilustrator dan seniman lokal untuk membuat desain limited edition, yang jadi incaran kolektor streetwear.
Selain itu, 3Second juga aktif dalam kampanye sosial, seperti kampanye peduli lingkungan dan gaya hidup sehat yang dikemas dalam bentuk koleksi tematik. Kolaborasi-kolaborasi ini bikin brand terasa lebih dekat dan relevan dengan anak muda masa kini.
Berikut adalah salah satu produk kolaborasi dari 3Second X One Piece X Tahilalat
Salah satu kunci sukses 3Second adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan zaman, dari era kaos sablon dan celana cargo, sampai sekarang di mana fashion streetwear udah masuk ke ranah digital dan global.
Meski tren fashion terus berubah, semangat distro tetap hidup. Banyak brand baru bermunculan, tapi juga ada yang bertahan seperti 3Second. Bedanya, sekarang distribusi nggak lagi cuma lewat toko fisik, tapi juga lewat online store, marketplace, dan media sosial. Tapi satu yang nggak berubah: karakter brand distro Bandung selalu punya attitude dan rasa percaya diri yang tinggi.
Artikel ini ditulis oleh: Dani Wahyudin
Bagikan